Jumat, 06 Januari 2012

Ya Rabbi, jadikan sakitnya penggugur dosanya

Memoar itu terlintas kembali, semuanya masih teramat jelas kuingat. sebuah ruangan kecil, dengan seorang perempuan terbaring tak berdaya di ranjang. Dekorasi kamar yang serba hijau.ah... aku tak sanggup megingatnya. Yang kutahu, perempuan itu ternyata ibuku. Malam itu, aku duduk di ranjang lain di samping ranjang ibuku. Bergiliran menunggu dengan ayah yang saat itu sedang tidur di atas tikar di lantai,bergantian berjaga. sepi,, hanya ada beberapa sumber suara seperti detik jam yang tak pernah mundur. Juga tabung oksigen yang mengeluarkan bunyi gemelutuk. Kunyalakan murotal dari hp ayah untuk menentramkan. Mataku nanar, meleleh tak tersisa air mata yang selalu kutahan di dapan umi. Aku tak sanggup melihat keadaan beliau. Ketika selang oksigen dan botol infus melilit tubuhnya, beliau tak berdaya melakukan apapun. Jangankan untuk berbaring, semua posisi tak betah ia lakukan, yang ada hanya sesak sesek nafas yang berat. Setiap saat kuliat dadanya kembang kempis sekedar untuk menarik satu nafas, dari mulut dan hidungnya keluar suara-suara aneh karena nafas yang tersumbat. Bahkan untuk sekadar bicara pun beliuan tak lagi mampu. ia hanya mengangguk lesu ketika kutanyakan, “umi dadanya sakit?” saat itu aku tak pernah berhenti berdoa untuk kesembuhannya, tasbih,takbir tak lepas dari mulutku. Aku masih berharap besar pada Allah demi kesembuhannya. Tapi saat itu pula pikiran-pikiran aneh menggelayutiku. Bagaimana jika umur ibuku tak lama lagi, sedang aku belum mampu membalasnya sedikitpun, sekedar membahagiakan, membuatnya tersenyum dan bangga padaku. Yang ada, aku adalah anak bebal yang terkadang membuatnya sedih. Tidak mau ketika disuruh, bersantai-santai ria nonton tivi dan tidur ketika dengan pontang panting ibu menjahit hingga larut malam untuk makan kami. Paginya beliau harus mondar mandir lagi untuk nyapu, ngepel masak dll.. ya Rabbi, dimana empatiku saat itu?? hamba mohon ampun atas kedurhakaanku pada orangtuaku. Yang ada sekarang aku hanya menyesal dan menyesal.
Sabtu, 16 Juni 2011.
Perassanku semakin tak karuan, umi semakin kritis dan harus di rawat di ICU. Bodoh sekali! Aku, mba uva, mba yuni dengan terang-terangan mengisak didepan beliau. Aku tahu beliau sudah tak berdaya dan tak sadar. Tapi aku yakin, nalurinya masih sadar, bukannya bertahan dan menghibur untuk menguatkan, isakan kami justru akam melemahkannya dan membuat sedih. Berjam-jam tak ada perkembangan baik yang signifikan... aku tak tega melihat umi harus merasakan sakit yang terus terusan. Sampai akhirnya aku Cuma bisa berdoa, mohon diberikan yang terbaik untuknya.
Ya Allah, jika Engkau menghendaki kesembuhannya, maka hilangkan rasa sakitnya segera. Sembuhkan beliau. Jika sebaliknya, mudahkan jalannya. Entahlah,,, aku tidak bermaksud pasrah. Dosakah diriku?? Aku hanya minta yang terbaik untuk ibuku,,, aku tak sanggup melihat beliau terus menerus kesakitan.
Minggu, 17 Juli 2011
Menjelang pukul 10, kondisi ibu semakin dan sangat sangat memburuk, tekanan darahnya tinggal 15/24. Ya Rabbi.. pertanda apakah ini?? Harus berjuang atau pasrahkah kami.. aku Cuma bisa duduk disampingmu, menggenggam tangan dan kakimu yang mulai dingin sembari membaca al-mulk dan menalkinnya. Hingga pukul 10.56, ternyata Allah benar-benar menunjukan keputusannya untuk memanggilnya.
Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun
Ghofarollahulahaa...
Satu bulan setelahnya, di tanggal muda bulan syawal. Sebuah kabar mengguncang datang padaku. Ayah mba icha meninggal dunia. Juga memnyusul ayah puji sebulan setelahnya. Innalillahi wa’inna ilaihi raji’uun... keduanya meninggal secara tiba-tiba. Tanpa tanda-tanda yang jelas, hanya sakit dan demam biasa jika dibandingkan dengan ibuku.
Sempat terbesit dalam pikiranku beberapa waktu sepeninggal ibuku. Mendingan meninggal dunia tiba-tiba ataukah meninggal dengan melalui tanda-tanda seperti sakit yang berkepanjangan kah?
Suatu kali dengan polos kutanyakan itu pada mba icha . yang namanya kematian, bukankah itu suatu kepastian? Entah bagaimana caranya, apakah meninggal tiba-tiba, ataupun setelah melalui tanda-tanda seperti sakit atau sebagainya.
Dengan polos prtanyaan itu sempat kusampaikan mba icha “mba, menurut mba icha, mending meninggal tiba-tiba atau meninggal melalui sakit dulu???” mba icha Cuma tersenyum. Ya gak ada yang mendinglah dik... mati itu suatu kepastian. Entah itu secara tiba-tiba ataupun melalui tanda-tanda. Semuanya juga akan merasa, kelak kita juga akan mengalami sakaratul maut yang sakit, tak ada bedanya tiba-tiba atau pun tidak. Yang pasti kita berharap sama Allah agar khusnul khotimah. Aamiin
“ Aku gak tega mba, dulu melihat ibu sakit... sedangkan kita pun anak-anaknya tak bisa melakukan apa-apa bahkan untuk berbagi sakit sekalipun”.
tapi akhirnya kutemukan jawaban ketaksanggupan dan sedihku, bahwasannya rasa sakit yang dialami seseorang adalah menggugurkan dosa-dosanya
"Tidaklah sakit seorang mukmin, laki-laki dan perempuan, dan tidaklah pula dengan seorang muslim, laki-laki dan perempuan, melainkan Allah  menggugurkan kesalahan-kesalahannya dengan hal itu, sebagaimana bergugurannya dedaunan dari pohon." HR. Ahmad 3/346.
Ya Rabbi, jadikankan rasa sakit ibuku menggugurkan dosa-dosanya. Yang meringankan azabnya di akhirat kelak. Ya Rabbi, umi lelah sekali di dunia. Jadikan kubur dan akhiratnya menjadi tempat istirahat terbaiknya, dijadikan surga tempat kembalinya dan dikumpulkan lagi kami disana. Aamiin
Rabu, 14122011
_02.17_

1 komentar: