Senin, 26 Maret 2012

Sang Boomber


Pukul 23.45 WIB. Seorang pemuda berjalan sendiri meninggalkan Bandara Adi Sucipto. Ia baru saja menghabiskan perjalanan udaranya dari tempat yang jauh. Gurat wajahnya tegas, tampak segar dengan bekas air wudhu yang masih membasahi rambutnya. Tak seperti penumpang lain, barang bawaannya terkesan lebih simpel. Sebuah tas ransel menempel dipunggungnya dan koper berukuran sedang dibawah kendali tangan kanannya. Suara merdu operator perempuan baru saja terdengar dari speaker beberapa saat lalu, memberikan sambutan selamat datang bagi para penumpang pesawat yang baru saja landing. Ia telah menyelesaikan perjalanan udaranya dari Negeri Paman Sam setelah transit lebih dahulu di Bandara Soekarno-Hatta. Berjalan tagap, pemuda itu meninggalkan bandara. Berniat melanjutkan perjalanan ke rumahnya. Ia memilih menghentikan taksi untuk mengantarnya pulang tanpa terlebih dahulu memberi kabar keluarga di rumah. Mungkin saja ia bermaksud memberi kejutan pada orang-orang di rumah. Meski matanya terasa berat, tiga tahun tak melihat kampung halaman memutuskan dirinya untuk menikmati perjalanan sisi kota yang tak banyak berubah. Suasana Jogja yang tak pernah sepi. Kerlap kerlip hiasan lampu kota tampak temaram memamerkan keindahannya. Di trotoar jalan, anak-anak muda masih banyak berkeliaran merayakan kebebasannya. Sebagian saling bergerombol, tak sedikit dari mereka berdua saja dengan kekasihnya, si lelaki memainkan rambut panjang kekasihnya, berdempet bergandeng tangan. Fenomena yang memuakkan. Tak berbeda dengan orang – orang muda di negeri perantauannya yang belum dua puluh empat jam ia tinggalkan. Negeri Hollywood benar-benar talah menjadi kiblat anak muda jaman sekarang.
 Pemuda itu kemudian mengalihkan perhatian ke sudut lain, menatap sekilas beberapa anak muda yang  tampak asyik bercengkrama dengan cat semprot warna warni di depan tembok besar yang berdiri kokoh di tepi jalan. Mural atau graffiti, itulah istilah untuk aktivitas yang sedang mereka lakoni. Teknik menggambar di sebuah bidang besar permanen seperti tembok. Graffiti sendiri merupakan bagian dari mural, yang coretan-coretannya cenderung berupa hanya berupa tulisan.
 Tiba-tiba ia menyuruh si supir taksi untuk merapat dan memutuskan untuk turun. Ia mengurungkan niat untuk sampai di rumah lebih awal. Pemuda itu kemudian mampir ke sebuah warung lesehan untuk sekedar istirahat dan duduk-duduk sejenak.
“Lele bakar kalih jeruk panas, setunggal nggih bu1.” Katanya ringan sambil mengacungkan telunjuknya. Tiga tahun hidup di negeri orang tak membuatnya lupa dengan bahasa jawa kebanggaannya. Ia bahkan tak melewatkan menu makanan favoritnya ketika kuliah S1 dulu. Usai makan, ia tak kunjung beranjak. Tak jauh beberapa meter di sebrang jalan tampak para pemuda yang tadi sempat menjadi perhatiaanya beberapa saat lalu. Segerombolan anak muda yang  asyik berekspresi di depan tembok. Pikirannya tiba-tiba membawanya ke masa lalu, seakan sebuah roll kaset diputar ulang di memorinya kembali ke masa lalu.
*****
Megendap-endap tengah malam, di antara tepi-tepi jalan raya. sesekali aksinya ia lampiaskan dalam gelapnya trowongan atau tembok-tembok jembatan di bawah fly over yang berdiri angkuh. Seangkuh karyanya yang terkadang menjadi gunjingan bagi sebagian orang. Di sisi lain, semprotan cat dan goresan kuas dari tangan lihainya merupakan karya seni luar biasa yang kini menjadi primadona di tengah hiruk pikuk keramaian jalan raya di berbagai kota.
“Lif,,, satu warna terakhir!” Ujar Daud pada kawan disampingnya, seraya mengulurkan tangan meminta cat untuk menyelesaikan graffitinya.  Spontan tangannya berayun menangkap cat semprot yang dilempar sang kawan.  Alif, sohib setianya yang tak pernah telat menemani setiap kali Daud berhasrat untuk Ngebom, istilah bagi para Bomber, sang seniman graffiti. Sedangkan Alif, terlepas dari sohib setianya, ia tak lebih dari sekedar asisten yang sama sekali tak memiliki bakat yang sama seperti Daud. Sekedar menjadi teman ngobrol dan membantu ini itu ketika Daud tengah asyik menekuri graffitinya.
Srrooott… kini ia telah sampai di semprotan terakhir. Kakinya mundur beberapa langkah,  mengamati hasil karya tangan lihainya sembari  membandingkan dengan desain di atas secarik kertas yang sudah lusuh. Dibalik kacamata minus empatnya, matanya memicing sambil mengembangkan kedua ujung bibirnya ke atas. Di belakangnya, Alif yang duduk di trotoar seberang jalan membaca karya sang bomber yang baru saja usai. “Aufklarung”.  Itulah graffiti hasil karya Daud malam ini. Sebuah ‘pencerahan’ yang tengah ia  harapkan hadir dalam kerumitan ujian kehidupannya.
Sang bomber biasanya menuangkan inspirasinya dalam sebuah tulisan tertentu yang memiliki makna tersendiri, yang terkadang makna itu terlalu abstrak hingga tak sembarang orang memahaminya. Tak jarang graffiti menjadi sarana dan bahasa rahasia dengan komunitasnya, atau bahkan berisi ekspresi ketidakpuasan terhadap kondisi sosial. Yang unik bagi Daud dan Alif, pernah suatu kali mereka menuliskan besar-besar nama perempuan yang sempat mereka sukai diam-diam di tembok gerbang belakang sekolah. Pagi harinya, mereka tersenyum puas mendapati kedua perumpuan yang dimaksud terperangah, setengah mati mencari para pelaku yang tak  pernah terbongkar hingga kini.
Daud duduk merapati Alif, meneguk secuil air yang tersisa di botol yang sengaja mereka bawa. Aktivitasnya malam ini cukup membuatnya lelah. Buaian dingin angin malam menyeruak, menyeka keringat yang membasahi tubuh ringkihya, melalui pori pori kulitnya hingga menusuk tulang.
“Ayo...!!” keduanya lalu bangkit dan meninggalkan area yang tiga puluh menit lalu menjadi madan kekuasaannya. Berjalan menyusuri pinggiran kota dini hari. Jam di tangan Alif menunjukan tepat pukul dua.  Setiap inchi jarak yang mereka lewati menampakan sisi lain kehidupan yang tak semestinya ada. Beberapa gelandangan dan Pengemis tampak tertidur pulas, seakan tak pernah ada beban yang membelenggu kehidupan mereka. Beberapa meter perempatan jalan  di depan tampak beberapa waria dan wanita tuna susila tengah menjajakan jasanya. Ada juga segerombolan anak-anak muda tengah asyik dengan genjrengan gitar dan asap rokok yang terus mengepul. Hufh… sepertinya dunia ini tak pernah sepi. Keduanya masih berjalan tanpa arah, bermaksud menghabiskan malam ini di jalanan sepenuhnya, sesekali bercakap-cakap riang mengenang cerita-cerita masa lalu atau tarbahak memimpikan masa depan.
“Kau tahu Lif, aku berjanji, kelak aku akan menjadi seniman besar seperti Affandi dan Basuki Abdullah.” Begitulah Daud berikrar, usai menarik nafas panjang  di sela-sela mimpinya yang sedang mereka rangkai. Berharap malaikat menyimpul mimpi-mimpinya dan Tuhan berkenan mengabulkan.
“Tentu saja kawan, kelak aku pun tak mau kalah seperti Habibie yang telah menerbangkan Gatut Kaca nya.” Alif tak kalah menimpali tentang mimpinya, “ atau berkeliling dunia dan menemukan desa Edensor seperti Andrea Hirata dalam novelnya.”
Keduanya terbahak. Setengah tak percaya dengan masing-masing bualannya.
“Bersyukurlah kau masih berkesempatan melanjutkan study mu, kawan. Meski aku tak seberuntung kau, aku yakin Tuhan telah menakdirkan untukku jalan yang tak kalah indah darimu” begitulah akhir obrolan hangat malam itu. Keduanya lalu tersenyum. Kini mereka melangkah masuk ke dalam Mushola kecil di sudut kota. Bersungkur rata dengan tanah, melebur, menyatu dengan segala kerendahan memohon pada Sang Kuasa untuk suatu makna hidup yeng berarti
****
Pagi yang cerah, seminggu berlalu usai Daud ngebom sabtu malam lalu. Ia baru saja terbangun dari ketidurannya usai sholat Subuh tadi. Sajadahnya masih tergelar disudut kamarnya yang mulai terang oleh berkas-berkas sinar matahari yang menembus jendela kaca kamarnya. Sekilas wajah kamarnya mulai terlihat, tampak dinding-dinding kamarnya penuh coret-coret graffiti abstrak buah karyanya. Buku-buku bertumpuk berserakan bercampur pakaian yang tak jelas bersih atau kotor. Lengkap sekali, mulai dari buku-buku sastra favoritnya karya Gibran, Taufik Ismail, Goenawan Muhammad, hingga buku-buku pergerakan. Bahkan beberapa kitab besar seperti Fiqh, Manhaj dan Ihya Ulummudin ikut tertumpuk diantaranya. Rasanya kontras sekali jika dibandingkan dengan kebanyakan seniman yang terkenal semrawud. Liberal dan sekuler, berpikir parsial antara seni dengan religi. Daud bukan demikian. Alamarhum ayahnya mantan pemimpin Pergerakan dan tokoh berpengaruh dimasyarakatnya. Sisi dirinnya yang demikian tak lain didikan ayahnya.
Daud terpaksa mengalah pada nasib. Keinginannya untuk melanjutkan study harus lenyap. Emaknya hanya bakul sayur di pasar Demangan. Jangankan untuk biaya kuliah, emaknya bahkan harus banting tulang sendiri untuk kebutuhan Daud dan keenam adiknya. Sayang sekali prestasi akademiknya tak begitu menonjol, sehingga Beasiswa yang ia usahakan belum mampu ia tembus. Usai lulus Sekolah menengah kemarin, hari-harinya hanya membantu Emak jualan di pasar. setelah itu, bebaslah ia menuangkan ekspresinya. Sesekali berkutat dengan cat di depan kanvas, menari kan pena diatas kertas, bahkan genjrengan dengan kort dan gitar rombengnya yang hanya tinggal lima senar.
“Daud, koe iki opo ora mesake emak. gek nyambut gawe. Adi-adimu kuwi isih cilik-cilik to le…2” pagi itu, emaknya nyletuk ketika Daud menemani berjaga di pasar. Daud hanya menjawabnyanya enteng
“ Enggih mak, sesuk Daud golet gawe3” kemudian ia minta izin ke Mushola di sudut pasar untuk menunaikan Dhuha. Meski ia tampak acuh dengan ucapan Emak baru saja. Berat benar hatinya akan tanggung jawab yang ia lalaikan sebagai sulung. Terlebih dirinya sebagai laki-laki dan ayahnya yang telah almarhum.
Sore itu, dihari yang sama. Ketika Daud tengah terluntang-lantung tak jelas dengan sepeda ontelnya di Kawasan Malioboro, ia bertemu kang Epi. Rekannya yang juga hobi di bidang seni. Keduanya lalu mampir di sebuah angkringan di sudut Alun-alun, ngobrol dan diskusi tentang banyak hal.  
“Ah ya, lama aku tak bisa menghubungimu. Aku bahkan lupa untuk memberitahu. Lukisanmu yang kau titipkan bulan lalu sudah ada yang ngambil. Mantap boi, tiga ratus ribu. Tak main-main kau memberi harga untuk lukisan abstrak ngawurmu.” Kang Epi menyeringai, ia sodorkan tiga lembar uang berwarna merah jambu pada Daud.
Daud kaget tak percaya. Ia bahkan sekedar iseng saja menitipkan lukisannya di galery milik rekan kang Epi. Matanya berbinar menerima uang dari hasil karyanya. Terharu. Bayangan Emak dan adik-adiknya sekejap terlintas. Mereka pasti senang dengan berita ini. Pucuk dicinta Ulam pun tiba. Bukan suatu kebetulan, Kang Epi bahkan memberi tawaran kepada Daud untuk bekerja di galery milik kawannya itu.
“Yang bener aja kang, itu kan galery terkenal. Pengunjung dan pembelinya aja kebanyakan turis asing yang berani bayar mahal lukisan-lukisannnya. Lah wong lukisanku aja semrawut kok. Mana ada yang mau nglirik.” Ujar Daud masih tak percaya
“Lah itu apa namanya kalo bukan dilirik. Serius boi, aku bahkan tak meragukan karyamu. Toh upah bulanannya lumayan. Apalagi kalo lukisanmu laku.” Kata Kang Epi lagi.
“hmmm.. beres deh kang.” Senyumnya mengembang, dengan senang hati Daud menerima tawaran Kang Epi. rasa syukurnya ia tumpuhkan dalam doa usai menunaikan Sholat Maghrib di Masjid Gedhe Kraton. Ia langsung menarik ontelnya menuju rumah Alif sahabatnya.
“Aku punya kejutan kawan.” Daud melempar tubuhnya ke kursi,bayangkan, lukisanku yang kutitipkan di galery milik rekan kang Epi laku terjual. Aku bahkan dapat tawaran untuk bekerja di galery nya.” Ujar Daud girang “besok akan ku kabari kejutan ini pada emak dan adik-adik. Ternyata aku bisa membuktikan bukan, kalo karyaku memang tak sia-sia.” Ujarnya menggebu
“Aku turut bahagia, kawan” kata Alif ikut tersenyum
“Sepertinya akan semakin seru kalo malam ini kita ngebom lagi. Ayolah, kita rayakan ini.” Seperti biasa sang Bomber satu ini selalu berhasrat untuk bermain dengan perangkat catnya di setiap momentum yang membuat hidupnya berkesan
Keduanya lalu keluar tengah malam, sekitar pukul 23.40. mengendap-endap mencari tempat yang tepat untuk lahan graffitinya. Seperti biasa, Daud mampu menaklukan sendiri tembok di depannya dengan cat di genggaman tangan lihainya. Sesekali Alif memberi masukan tentang graffiitinya kali ini. Tak banyak waktu yang Daud butuhkan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Enam puluh menit berlalu. Graffitinya telah mampu terbaca. ‘Greatest Allah’. Begitulah, sebuah ungkapan syukur luar biasa untuk Rabb yang telah memberi nikmat tak terbatas
            Dalam perjalanan Pulang, Daud merasa tak tenang. Sesuatu yang aneh tampak menyelimuti mereka berdua. Seperti ada yang tengah mengikutinya di belakang. Daud menoleh, tak ada siapapun. Keduanya lalu melanjutkan jalannya di trotoar. Jarum di jam tangan Alif menunjukan pukul 01.38 dini hari.  Posisi mereka kini berada di sekitar kelurahan Kotabaru. Tidak jauh darinya perkampungan di sekitar bantaran Kalicode tampak padat dan kumuh. Masih banyak orang – orang berkerumun disana. Tak sedikit pasangan lelaki dan perempuan masih bersembunyi dibalik keremangan. Sebuah motor melintas kencang. suaranya yang nyarig  di tengah kesenyapan malam memekakan telinga keduanya. Perasaan Daud semakin tak tenang. Dari sejak di Jalan Mataram tadi masih saja seperti ada yang mengikutinya. Lima menit berlalu, keduanya masih melanjutkan berjalan. Motor yang sama melintasinya lagi. Kali ini tak secepat sebelumnya. Seorang pengendara berjaket hitam dengan kepalanya tertutup helm rapat. Dibelakangnya seorang penumpang mengenakan kaos lengan panjang dan jin belel menatap tak enak pada Daud. Matanya memicing, wajahnya seakan menyimpan dendam pada orang yang ditatapnya. Daud semakin panik, ia bahkan tak mengenal sama sekali kedua lelaki itu. Sedangkan Alif sama sekali tak menyadari keanehan yang mengejar Daud sedari tadi.
Lif, sepertinya kita harus segera pulang.” Daud berjalan kian cepat, yang dituju adalah Masjid Syuhada, dimana ia memarkirkan sepeda ontelnya malam tadi. Belum sampat sampai tujuan, untuk ketiga kalinya motor yang sama melintasinya, kali ini dua motor yang lain mengikutinya dibelakang. Masing-masing membawa seseorang yang momboncengnya di belakang. Ketiga motor tersebut tempak melambat mendekati mereka berdua. Tiba-tiba tiga orang boncengannya melompat dari motor mengelilingi Daud dan Alif. Keduanya benar - benar panik, belum sempat mengadakan percakapan, seorang diantaranya memberikan bogeman keras tepat di muka Daud, menjadikan beberapa pembuluh darahnya sobek, seketika darah segar mengalir dari hidung dan ujung bibir Daud,
“Sialan! Siapa Kalian Hah?!” Daud berteriak, setengah berlari ia membalas bogeman si preman, tepat mengenai sasaran yang sama. Tak jauh darinya Alif tengah di kroyok tiga preman lain yang tak dikenalnya. Masing  masing satu melawan tiga. Pertarungan sudah semakin tak bisa dihindarkan. Enam lelaki tak dikenalnya tersebut membabi buta mengroyok Daud dan Alif, tak ada percakapan sedikitpun. Para mulut preman tersebut hanya bungkam disambing tangannya yang terus menghajar.
Bughhh…
Untuk kesekian kalinya bogeman keras mendarat di perut Daud ketika ia hendak mengeluarkan kalimat. Sepuluh menit berlalu, tak ada tanda – tanda para preman tersebut akan berhenti mendaratkan pukulannya. Tak seorangpun lewat di tempat ini untuk dimintai tolong. Keduanya sudah tak berdaya. Darah merah segar mengalir di setiap bagian tubuh mereka, wajahnya bahkan sudah tak berbentuk lagi. Daud sudah terlebih dulu ambruk ketika entah pukulan yang keberapa mendarat tepat di ulu hatinya. Terasa sekali pukulannya telah mengenai organ dalamnya hinga ia tak lagi sedarkan diri. Badannya terpental dengan darah termuntahkan dari mulutnya. Tak lama setelahnya beberapa warga ada yang melihatnya, mereka segera berlari hendak menolongnya.  Baru saat itulah preman-preman tersebut mundur. Memilih menstater motornya dan terbirit manjauh segera. Sayang sekali warga tak sempat membekuknya.
Kali ini Daud dan Alif lah yang harus segera mendapat pertolongan. Alif masih setengah sadar ketika warga menolongnya. Ia melihat Daud tergeletak di jalan dengan darah melumuri tubuhnya. Ia bahkan tak tahu, kawannya telah menghembuskan nafas terakhirnya ketika warga belum sempat menolongnya.
Sekejap, dunia menjadi kelam.
*****
Seketika lamunan pemuda di warung lesehan itu buyar. Seakan roll kaset yang sedang di putar di memorinya rusak dan tak mampu lagi melanjutkan film yang terekam di dalammnya. Butiran-butiran bening menetes di pipinya. Matanya telah basah sembari menatap gerombolan bomber di sebrang jalan yang tengah asyik ngebom dengan graffitinya. Membawanya pada kenangan-kenangan masa lalu bersama si bomber sahabatnya, Daud. Ketika mereka berdua  berjalan – jalan mengitari kota Jogja hampir tiap malam. Ketika dirinya hanya duduk-duduk membaca buku pelajaran di belakang sedangkan di depannya daud tengah asyik berkutat dengan graffitinya. Ketika Daud dengan amat bangga atas kejutan yang hendak ia sampaikan pada emak dan adik-adiknya. Ketika  Daud membuat garafity terakhirnya bertuliskan ‘ Greatest Allah ’ dan juga tentang akhir dari kejadian itu. Ketika tenyata ia benar-benar talah pergi
Malam ini, Alif benar-benar urung untuk pulang. Berniat menghabiskan malamnya di atas Sajadah masjid kota. Dan berjumpa dengan makam sahabatnya lebih dulu. Allahummaghfirlahu…

1Lele bakar sama jeruk, satu bu.
2Daud, kamu ini apa tidak kasihan sama ibumu. Sana cari kerja. Adik-adikmu itu masih kecil-kecil, Le(Panggilan untuk anak laki-laki di Jawa)
3Iya bu, besok Daud cari kerja

Juki dan Sepeda Jengki

“Namanya Muhammad Marzuki, biasanya sih cuma dipanggil Juki sama teman-temannya.” Fatma berbisik pelan padaku, menjelaskan lelaki yang yang baru saja datang dengan sepedanya. Sepeda jengki tua tahun 60-an ia parkirkan dengan posisi miring tepat didepan pintu. Juki lalu buru-buru masuk dan segera bergabung dalam forum yang sudah dimulai empat puluh lima menit lalu. Majelis taklim atau kajian ilmu yang biasa kami adakan sepekan sekali. Bergilirin dari rumah ke rumah anak-anak muda di kampung tiap sabtu malam.
“Memangnya kenapa, Din? Dari tadi banyak lelaki datang tidak kamu tanyakan, giliran dia kok kamu penasaran?” Setengah tersenyum, Fatma tiba-tiba nyletuk disela sayup-sayup suara materi yang disampaikan ustadz Arif di depan. Seakan dia paham kepenasaranku terhadap lelaki yang kutanyakan barusan.
“Ah, tak apa... aku hanya baru lihat sosoknya saja sejak ikutan ngaji begini bareng kalian.” Kujawab santai pertanyaan Fatma, karna memang bukan sesuatu yang heboh.
“Dia dari kampung tetangga Din, hmmm... aku tahu kenapa kau menanyakan dia. Entahlahlah, sikapnya tidak seperti lelaki biasanya. Sepertinya dia lugu sekali,  juga perilakunya yang terkadang aneh. Yang ku tahu, ayahnya sudah tak ada, dia tak mampu melanjutkan sekolah setelah SMP. Tapi aku salut, ia selalu berusaha mengumpulkan ilmu dimanapun ada kesempatan.”
Aku hanya mengangguk dan meng O panjang mendengar penjelasan Fatma, meski sebenarnya ada sedikit penasaran terhadap lelaki yang duduk diantara bingkai pintu tersebut. Sekilas aku  melirik lelaki yang dipanggil Juki itu tengah asyik menggoyangkan pena di buku tulis usangnya, menuliskan apa – apa petuah yang disampaikan sang ustadz dengan seksama. Caranya sedikit aneh memegang pena yang ada ditangannya. Terkadang matanya berlalu lalang diantara telinganya  yang entah  mendengarkan atau mungkin sama saja berlalu lalang seperti matanya...
Sembilan puluh menit berlalu setelah kajian ta’lim dirumahku dimulai bada isya tadi. Ustadz Arif yang baru saja barbagi ilmu fiqh-nya segera pamit dari forum.
“Pamit dulu ya mas,, anak dirumah lagi sakit” ustadz Arif menyalami para lelaki di depan. Juga lelaki di bingkai pintu yang dengan takzim menyalami beliau sambil tersenyum polos.
Tak sadar Juki belum luput dari perhatianku, masih ada penasaran setelah Fatma menceritakan tentang dirinya beberapa saat lalu. Terlebih dengan kesederhanaannya membawa sepeda jengki seperti milik simbah ketika yang lain sudah membawa bebek atau metic. Ya ,, sikapnya memang sedikit aneh. Tak seperti kawan-kawannya yang lain. Sesekali aku mendengar percakapannya dengan  kawan-kawannya didepan. Dia berbicara gagap, tapi tak pernah ragu untuk mengeluarkan kata-katannya dengan tegap.
****
Senin yang cerah. Langit sempurna berwarna biru, dihiasi gumpalan-gumpalan awan tipis yang cantik seperti kapas.  Sayangnya tak ada lagi suara burung-burung berkicau ataupun nyanyian alam yang lain. Yang ada gerungan motor kebut-kebutan atau teriakan kernet angkutan mencari penumpang yang baru-baru ini beroperasi di kampung. Beberapa siswa putih abu-abu dan putih biru sudah mulai jarang berlalu lalang. Ibu-ibu berbadan gembul membawa tas belanjaannya menaiki angkot menuju pasar ke perempatan kota. Tampaknya kampungku mulai banyak kemajuan. Tidak seperti aku yang tak kunjung maju, masih saja telatan. Tak peduli hiruk pikuk diluar, yang kutau tau sekarang harus pake ini pake itu, ambil ini ambil itu. Jangankan tugas sekolah tergarap, buku paket dan catatan bahkan belum kubereskan dalam tas..
Arggh... entahlah, semalam sampai tadi pagi belum sempat kusentuh. Rumah yang berantakan lebih menarik untuk disentuh. Ditambah harus menyiapkan sarapan pagi untuk adik-adik kecilku. Semalam kehabisan waktu untuk mengerjakan proposal kegiatan. Jam tujuh lewat 5 menit. Buru-buru kutancapkan gas menuju sekolah berjarak tiga kilometer. Berharap tak ada satpam di pintu gerbang yang menyambut keterlambatanku dengan menyapu halaman belakang sekolah.
Benar saja. Kulirik jam tanganku. Jarum panjang hampir duduk di angka lima. Sekolah sudah sepi, tentu saja kawan-kawanku yang beruntung sudah duduk manis mendengarkan dan mencatat rumus-rumus kalkulus di dalam kelas. Sedangkan nasibku? Wow, ada mas Untung, satpam sekolah tengah duduk-duduk manis di dalam post satpam dibalik gerbang yang telah tertutup. Melihatku ia lalu keluar sambil membawa sebuah sapu lidi beserta serok sampahnya.
“Selamat siang Adinda... silahkan lima belas menit untuk membantu pak Kliwon menyapu halaman belakang.” Mas Untung tersenyum menyerahkan seperangkat alat kebersihan ditanganya melalui sela-sela pintu gerbang.  Satpam sekolah yang satu ini sudah hafal benar dengan ku. Benar-benar senyum yang menghanyutkan hingga aku dengan rela tunduk dengan perintahnya. Kubawa gontai sapu beserta seroknya memutari gedung sekolah menuju halaman belakang, menyebalkannya diriku... untuk kesekian kalinya tak mendapat pintu.
“kring... kringg...” tiba-tiba ada suara bel sepeda seperti menyapaku. Setengah kaget setelah tau ternyata si Juki dengan sepeda jengkinya. Ah.. lagi-lagi aku geli melihat anak ini, ditambah dengan si jengkinya yang sempat kulihat ia parkirkan di depan rumah saat kajian ta’lim dirumahku malam minggu lalu. Jengki berwarna biru kusam dengan tabung lampu yang cukup besar berada ditegah stang bagian depan. Ada bel sepeda yang masih nyaring di stang sebelah kanannya. Ada  stiker bertuliskan “Islam Yes Kafir No” yang terbaca amat jelas di besi panjang yang menghubungkan roda depan dan belakangnya. Dibelakangya terdapat pula rangkain besi yang bisa diduduki jika suatu saat ada yang mau menumpangnya. Seperti yang diduduki eyang putri dulu ketika di bonceng eyang kakung ke pasar. Ia lalu menghentikan kayuhannya disampingku.
“M...m...mba Din..dinda ya? Kkk.. ko diluar, tak masuk kelas?” bibirnya bergetar memanggilku. Aku tak keget dengan bicaranya yang gagap setelah mendengar dia berbicara malam minggu lalu. Yang mengherankan, ia paham namaku dan memanggilku mba. Padahal yang kutahu dari Fatma, dia sudah tiga tahun lebih tua dariku ataupun Fatma. Aku tersenyum meringis menjawabnya, menampilkan deretan-deratan gigi karena malu ketahuan dihukum telat.
“Iyah, maaf. Siapa ya? Kok tahu namaku?” aku pura-pura tak paham
“S..s..saya J..Juki mba Dinda. Ke.. ke.marin ikut s...si..siilaturahim malam minggu di rumah mba Dinda.” Juki masih dalam posisisi diatas jengkinya. “ mba Dinda lagi apa di luar., b..ba..bawa sapu segala?”
“iya nih mas Juki, gara-gara tadi telat jadi disuruh nyapu. Mas Juki sendiri habis darimana?” tanyaku sambil mengumpulakn sampah dibawahku.
“saya habis sepedaan mba.. j..ja..jalan-jalan kemana aja cari angin s..sa..sambil cari pelajaran yang ada di jalan...”
“Pelajaran di jalan? Seperti apa itu?” aku mengernyitkan dahi tak paham.
“ya banyak mba Din..” ujarnya dengan posisi yang sama di atas sepada. Kepalanya mengahap ke depan, sedangkan aku di samping sepeda berserta sapu dan serok yang masih di tangan.
“Misalnya kaya bapak – bapak tua yang lagi meminggul ge..ge..gerabah itu,” tanganya menunjuk sesoarang di depan, “beliau bekerja keras buat ke..ke..keluarganya. gak peduli panas ato be..be..rat yang penting dapat rezeki. Juga mba Dinda yang telat. Jadi tak bisa masuk kelas dan tak dapat ilmunya. M..mes.mestinya mba Dinda berangkat lebih pagi lagi.”
Bijak sekali kata-katanya, tapi aku tersenyum kecut mendengar kalimat yang terakhir. Benar-benar sindiran yang tepat sasaran. Ternyata tak seaneh yang kukira seperti apa yang diceritakan Fatma.
 Tak sadar sudah lima belas menit berlalu. Hanya sedikit kotoran yang terkumpulkan. Untung tak ada pak Kliwon, sehingga tak perlu merasa terawasi.
“Afwan mas Juki, sudah jam setengah delapan lebih, Dinda masuk kelas dulu”
“Iya mba Dinda, maaf men..me..mengganggu mba Dinda,Assalamu’alaikum”  Lelaki itu ngeloyor bersama jengki birunya, kuperhatikan ia hingga lenyap bersama hiruk pikuk jalanan kota
“Wa’alaikum salam warahmatullah..”
*****
Juki lagi Juki lagi, sejak mengenal orang satu ini tiba-tiba sering sekali menemukan sosok nya. Dari sejak kejadian di halaman belakang sekolah, hingga papasan di jalan beberapa kali. Bahkan terkadang ia tak segan-segan memainkan bel sepedanya ketika lewat didepan rumah dan menemui keberadaanku. Padahal rasanya aku tak pernah bertemu sosoknya sebelum mengenalnya. Ah, mungkin saja karena aku belum pernah kenal dan paham saat itu.
 Tak ketinggalan sepeda jengki birunya. Dimana ada Juki disitu pasti ada jengki. Seakan keduanya adalah pasangan serasi yang tak ada yang bisa memisahkan kecuali maut. Juki dan jengki, serasi sekali bukan?  Kabarnya sepeda jengki yang selalu membersamainya adalah peninggalan terakhir dari bapaknya. Sempat ibunya parnah memaksa Juki agar menjualnya untuk memenuhi kebutuhan, Juki malah meronta-ronta dan kabur beberapa hari dari rumah. Soal sekolahnya, ia tak mampu melanjutkan ke SMA. Bapaknya meninggal di semester awal kelas tiga SMP. Pendidikannya nyaris kandas di bulan-bulan terakhir SMP nya karena tak mampu membayar SPP dan Ujian Nasional.  Sedangkan ibunya hanya tukang cuci panggilan jika ada tetangga yang membutuhkan. Saat itulah Juki benar-benar di titik nadir. Ia melakukan apa saja pekerjaan yang halal demi mendapatkan uang untuk menyelesaikan sekolahnya. Dari loper koran hingga jualan Es. Berangkat sekolah Juki sekaligus membawa koran-koran yang akan diedarkan kepada para pelanggan. Usai sekolah, setelah membereskan rumah dan mengurus adiknya, ia berkeliling dengan sepedanya membawa es lilin dalam sekotak steroform di boncengan jengkinya yang dipasok dari salah satu pabrik es.
Kurang lebih seperti itu yang Fatma critakan padaku. Ia bahkan baru memberitahuku kalau ternyata mereka masih memiliki hubungan saudara yang cukup dekat. Ibu Juki merupakan kakak dari istri paman Fatma.
Kabar baiknya aku melihat Juki lagi, di sekolah. bukan untuk menyapaku dengan bel sepedanya atau bahkan menyindir kebiasaan telatku. Dia menjadi siswa di sekolah ini. Ah, lebih tepatnya di gedung sekolah ini. Dia tak mendaftar sebagai adik kelasku di Sekolah Bertaraf Internsioal SMA Negeri 1, melainkan menjadi siswa kejar paket C yang menggunakan gedung Smansa untuk KBM disore hari. Lagi – lagi dia yang menyapaku lebih dulu ketika aku hendak pulang usai jam pelajaran tambahan menjalang UN.
“ Mb  Dinda..” suaranya tak terlalu gagap untuk menyebut kata yang biasa diucapkan.
“Eh, mas Juki...” aku tak perlu menanyakan keberadaannya. Penampilannya yang membawa tas slempang kecil dipundaknya dijam jam segini di dalam gedung sekolah secara tak langsung memberitahuku tentang statusnya. Beberapa orang berpenampilan sejenis berlalu lalang memasuki kelas. Tak perlu menggunakan seragam untuk mengikuti KBM sebagai siswa kejar paket. Siswanya bahkan dari bermcam-macam umur, beberapa bapak-bapak dan ibu-ibu yang sudah tampak berumur tampak berada di dalam komunitas tersebut. Menjadikan ini sebagai kesempatan emas bagi orang-orang yang tidak mampu atau belum sempat mengenyam pendidikan lebih.
“Mba Dinda, saya masuk k..ke..kelas dulu ya, bu g..gu..gurunya sudah datang.”
Aku hanya tersenyum dan menggangguk mengiyakan.
*****
Sleman, Mei 2011
Awan mendung hampir menyelimuti sebagian besar wilayah DIY.  Teori tentang cuaca yang yang dijelaskan bu Nunung dalam pelajaran geografi kelas 5 SD dulu tampaknya sudah tak berlaku lagi. Musim kemarau di Indonesia bukan lagi dari bulan April hingga September, atau musim hujan di bulan Oktober hingga Maret. Nyatanya, dipertengahan bulan Mei seperti ini, hujan masih kerap kali mengguyur Yogya dan sekitarnya. Bukan saja DIY, malainkan sebagian besar wilayah di Indonesia. Terlalu nisbi untuk diramalkan. Pada dasarnya ilmu alam memang bukan ilmu mutlak seperti matetamik. Alam akan terus berkembang dan berkembang.
Kulirik jam ditangannku. Jarum pendek berada ditengah angka lima dan enam. Yang panjang duduk di angka enam. Masih sekitar tigapuluh menit lagi adzan disisni berkumandang. Tampaknya gerimis akan segera turun, atau bahkan hujan yang cukup lebat beserta tiupan – tiupan angin kencang yang menggugurkan ranting-ranting pohon.
Aku segera cabut dari kampus begitu Rapat Kerja BEM selesai. Berjalan menuju parkiran mengambil sepada motor plat R yang menemaniku berkelana sejak di Yogya ini.
Ya, hampir dua tahun berlalu keberadaanku disini. Akhirnya Allah mengizinkanku menginjakan kaki di tanah pelajar ini. Untuk sekarang, cita-citaku tercapai, menjadi mahasiswa Pendidikan Dokter di kampus ternama di Yogya. Tepatnya di Sleman, berhadapan langsung dengan RSUD Sardjito. Sebuah jembatan layang menghubungkan kampusku dengan rumah sakit yang sekaligus menjadi tempat praktek di sebrang kampus.
Aku lupa, ini bulan terkahir pembayaran biaya kost. Tak ada uang cash di dompet, kusempatkan mampir ke ATM di sekitar jalan Simanjuntak. Keluar dari ATM, hujan semakin deras, terpaksa kupakai mantol untuk melindungi. Meski sebenarnya amat menyesakkan dan merepotkan. Masa SMA dulu, aku lebih suka menerabasnya hingga rumah ketika hujan seperti ini, ngebut dijalanan yang licin dengan pakaian yang basah kuyup. Untuk sekarang, ah.. rasanya harus berhemat-hemat baju juga jadi anak kost, terkadang hanya ada waktu sepekan sekali untuk mencucu baju.
Kutancapkan gas sepeda motorku ke utara, menuju kamar kecil persinggahanku disekitar Kaliurang KM 6. Lampu hijau diperampatan Magister Manegemant UGM tak sempat kuterabas. Sudah keburu berganti merah. Terpaksa ku rem mendadak motor yang sudah nyaris melebihi zebra cross. Kuperhatikan setiap detik angka yang berlalu diatas lampu merah, masih 98 detik lagi, menunggu giliran lampu hijau dijalurku.
Tepat ketika papan waktu menunjukan angka 77, seorang lelaki menggunakan sepeda jengki berwarna biru melintas di tengah perempatan dari arah Timur. Saat itu pula sebuah motor yang dikendarai bapak-bapak melaju kencang dari arah utara hendak berbelok ke Barat. Kesalahan bagi si pengendara sepeda melanggar lalu lintas. Tak bisa di hindari, sebuah accident kecil terjadi. Bapak berperawakan kurus yang mengendarai motor itu akhirnya menabrak lelaki dengan sepeda jengkinya tak jauh di depanku. Kaget bukan main ketika samar-samar kulihat ada stiker  bertuliskan “Islam Yes Kafir No” yang tertempel di salah satu bagian sepada yang ikut jatuh bersama si pengendara. Seketika pekiranku melayang entah kemana, seakan aku tak asing dengan setiker yang kubaca beserta sepeda jengki biru yang jatuh tak jauh di hadapanku. Kualihkan pandanganku pada wajah si pengendara sepeda yang dari awal luput dari perhatianku.
“ Allahu Akbar... aku mengenal wajah lelaki itu, beserta sepeda jengkinya yang jatuh tak berdaya.” Teriakku dalam hati, segera ku belokkan motorku ke kiri dan berhenti menepi. Begitu pula dengan lelaki yang terjatuh dengan sepedanya. Ia sudah bangkit membetulkan posisinya dengan mantol plastik dibadannya yang berantakan. Kulambaikan tangan dan berteriak memanggilnya.
“Mas Juki...” aku berteriak keras, mencoba mengalahkan suara hujan yang turun deras.
Yang dipanggil tak kalah kaget melihatku, matanya setengah melotot berjalan pincang sembari menuntun sepeda menepi ke arahku. Tangan kanannya mengusap air hujan di wajahnya. Benar-benar pertemuan yang luar biasa. Sama-sama bukan main kagetnya.
“Mas Juki bagaimana critanya bisa ada disini?” setengah berteriak aku memulai percakapan dengannya. Menyaingi suara hujan yang belum kunjung reda
“Jalan-jalan mba Dinda.. c.. ca..caari angin dan pelajaran.”
Aku mengernyitkan dahi, mlongo mendengar jawabannya. Jawaban yang sama persis ia sampaikan ketika pertama kali pertemuanku dengannya di halaman belakang sekolah.
“kata orang-orang, J..jo..jogja itu terkenal sebagai kota pelajar mb Din..? makannya saya tertarik untuk jalan-jalan kesini, p..pa..pasti bakal banyak pelajaran yang bisa kuambil.” polos sekali Juki menjelaskan motif keberadaannya disini
“Terus Mas Juki kayuh sepeda Jengki ini dari Purwokerto ke Jogja?” aku semakin heran dengan kelakuaannya. Yang ditanya hanya mengembangkan bibirnya diantara air hujan yang masih menetas-netes diwajahnya.
Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.(QS. Al-jumuah:10)
                                                                                              JR, 26 Maret 2012_