Senin, 26 Maret 2012

Juki dan Sepeda Jengki

“Namanya Muhammad Marzuki, biasanya sih cuma dipanggil Juki sama teman-temannya.” Fatma berbisik pelan padaku, menjelaskan lelaki yang yang baru saja datang dengan sepedanya. Sepeda jengki tua tahun 60-an ia parkirkan dengan posisi miring tepat didepan pintu. Juki lalu buru-buru masuk dan segera bergabung dalam forum yang sudah dimulai empat puluh lima menit lalu. Majelis taklim atau kajian ilmu yang biasa kami adakan sepekan sekali. Bergilirin dari rumah ke rumah anak-anak muda di kampung tiap sabtu malam.
“Memangnya kenapa, Din? Dari tadi banyak lelaki datang tidak kamu tanyakan, giliran dia kok kamu penasaran?” Setengah tersenyum, Fatma tiba-tiba nyletuk disela sayup-sayup suara materi yang disampaikan ustadz Arif di depan. Seakan dia paham kepenasaranku terhadap lelaki yang kutanyakan barusan.
“Ah, tak apa... aku hanya baru lihat sosoknya saja sejak ikutan ngaji begini bareng kalian.” Kujawab santai pertanyaan Fatma, karna memang bukan sesuatu yang heboh.
“Dia dari kampung tetangga Din, hmmm... aku tahu kenapa kau menanyakan dia. Entahlahlah, sikapnya tidak seperti lelaki biasanya. Sepertinya dia lugu sekali,  juga perilakunya yang terkadang aneh. Yang ku tahu, ayahnya sudah tak ada, dia tak mampu melanjutkan sekolah setelah SMP. Tapi aku salut, ia selalu berusaha mengumpulkan ilmu dimanapun ada kesempatan.”
Aku hanya mengangguk dan meng O panjang mendengar penjelasan Fatma, meski sebenarnya ada sedikit penasaran terhadap lelaki yang duduk diantara bingkai pintu tersebut. Sekilas aku  melirik lelaki yang dipanggil Juki itu tengah asyik menggoyangkan pena di buku tulis usangnya, menuliskan apa – apa petuah yang disampaikan sang ustadz dengan seksama. Caranya sedikit aneh memegang pena yang ada ditangannya. Terkadang matanya berlalu lalang diantara telinganya  yang entah  mendengarkan atau mungkin sama saja berlalu lalang seperti matanya...
Sembilan puluh menit berlalu setelah kajian ta’lim dirumahku dimulai bada isya tadi. Ustadz Arif yang baru saja barbagi ilmu fiqh-nya segera pamit dari forum.
“Pamit dulu ya mas,, anak dirumah lagi sakit” ustadz Arif menyalami para lelaki di depan. Juga lelaki di bingkai pintu yang dengan takzim menyalami beliau sambil tersenyum polos.
Tak sadar Juki belum luput dari perhatianku, masih ada penasaran setelah Fatma menceritakan tentang dirinya beberapa saat lalu. Terlebih dengan kesederhanaannya membawa sepeda jengki seperti milik simbah ketika yang lain sudah membawa bebek atau metic. Ya ,, sikapnya memang sedikit aneh. Tak seperti kawan-kawannya yang lain. Sesekali aku mendengar percakapannya dengan  kawan-kawannya didepan. Dia berbicara gagap, tapi tak pernah ragu untuk mengeluarkan kata-katannya dengan tegap.
****
Senin yang cerah. Langit sempurna berwarna biru, dihiasi gumpalan-gumpalan awan tipis yang cantik seperti kapas.  Sayangnya tak ada lagi suara burung-burung berkicau ataupun nyanyian alam yang lain. Yang ada gerungan motor kebut-kebutan atau teriakan kernet angkutan mencari penumpang yang baru-baru ini beroperasi di kampung. Beberapa siswa putih abu-abu dan putih biru sudah mulai jarang berlalu lalang. Ibu-ibu berbadan gembul membawa tas belanjaannya menaiki angkot menuju pasar ke perempatan kota. Tampaknya kampungku mulai banyak kemajuan. Tidak seperti aku yang tak kunjung maju, masih saja telatan. Tak peduli hiruk pikuk diluar, yang kutau tau sekarang harus pake ini pake itu, ambil ini ambil itu. Jangankan tugas sekolah tergarap, buku paket dan catatan bahkan belum kubereskan dalam tas..
Arggh... entahlah, semalam sampai tadi pagi belum sempat kusentuh. Rumah yang berantakan lebih menarik untuk disentuh. Ditambah harus menyiapkan sarapan pagi untuk adik-adik kecilku. Semalam kehabisan waktu untuk mengerjakan proposal kegiatan. Jam tujuh lewat 5 menit. Buru-buru kutancapkan gas menuju sekolah berjarak tiga kilometer. Berharap tak ada satpam di pintu gerbang yang menyambut keterlambatanku dengan menyapu halaman belakang sekolah.
Benar saja. Kulirik jam tanganku. Jarum panjang hampir duduk di angka lima. Sekolah sudah sepi, tentu saja kawan-kawanku yang beruntung sudah duduk manis mendengarkan dan mencatat rumus-rumus kalkulus di dalam kelas. Sedangkan nasibku? Wow, ada mas Untung, satpam sekolah tengah duduk-duduk manis di dalam post satpam dibalik gerbang yang telah tertutup. Melihatku ia lalu keluar sambil membawa sebuah sapu lidi beserta serok sampahnya.
“Selamat siang Adinda... silahkan lima belas menit untuk membantu pak Kliwon menyapu halaman belakang.” Mas Untung tersenyum menyerahkan seperangkat alat kebersihan ditanganya melalui sela-sela pintu gerbang.  Satpam sekolah yang satu ini sudah hafal benar dengan ku. Benar-benar senyum yang menghanyutkan hingga aku dengan rela tunduk dengan perintahnya. Kubawa gontai sapu beserta seroknya memutari gedung sekolah menuju halaman belakang, menyebalkannya diriku... untuk kesekian kalinya tak mendapat pintu.
“kring... kringg...” tiba-tiba ada suara bel sepeda seperti menyapaku. Setengah kaget setelah tau ternyata si Juki dengan sepeda jengkinya. Ah.. lagi-lagi aku geli melihat anak ini, ditambah dengan si jengkinya yang sempat kulihat ia parkirkan di depan rumah saat kajian ta’lim dirumahku malam minggu lalu. Jengki berwarna biru kusam dengan tabung lampu yang cukup besar berada ditegah stang bagian depan. Ada bel sepeda yang masih nyaring di stang sebelah kanannya. Ada  stiker bertuliskan “Islam Yes Kafir No” yang terbaca amat jelas di besi panjang yang menghubungkan roda depan dan belakangnya. Dibelakangya terdapat pula rangkain besi yang bisa diduduki jika suatu saat ada yang mau menumpangnya. Seperti yang diduduki eyang putri dulu ketika di bonceng eyang kakung ke pasar. Ia lalu menghentikan kayuhannya disampingku.
“M...m...mba Din..dinda ya? Kkk.. ko diluar, tak masuk kelas?” bibirnya bergetar memanggilku. Aku tak keget dengan bicaranya yang gagap setelah mendengar dia berbicara malam minggu lalu. Yang mengherankan, ia paham namaku dan memanggilku mba. Padahal yang kutahu dari Fatma, dia sudah tiga tahun lebih tua dariku ataupun Fatma. Aku tersenyum meringis menjawabnya, menampilkan deretan-deratan gigi karena malu ketahuan dihukum telat.
“Iyah, maaf. Siapa ya? Kok tahu namaku?” aku pura-pura tak paham
“S..s..saya J..Juki mba Dinda. Ke.. ke.marin ikut s...si..siilaturahim malam minggu di rumah mba Dinda.” Juki masih dalam posisisi diatas jengkinya. “ mba Dinda lagi apa di luar., b..ba..bawa sapu segala?”
“iya nih mas Juki, gara-gara tadi telat jadi disuruh nyapu. Mas Juki sendiri habis darimana?” tanyaku sambil mengumpulakn sampah dibawahku.
“saya habis sepedaan mba.. j..ja..jalan-jalan kemana aja cari angin s..sa..sambil cari pelajaran yang ada di jalan...”
“Pelajaran di jalan? Seperti apa itu?” aku mengernyitkan dahi tak paham.
“ya banyak mba Din..” ujarnya dengan posisi yang sama di atas sepada. Kepalanya mengahap ke depan, sedangkan aku di samping sepeda berserta sapu dan serok yang masih di tangan.
“Misalnya kaya bapak – bapak tua yang lagi meminggul ge..ge..gerabah itu,” tanganya menunjuk sesoarang di depan, “beliau bekerja keras buat ke..ke..keluarganya. gak peduli panas ato be..be..rat yang penting dapat rezeki. Juga mba Dinda yang telat. Jadi tak bisa masuk kelas dan tak dapat ilmunya. M..mes.mestinya mba Dinda berangkat lebih pagi lagi.”
Bijak sekali kata-katanya, tapi aku tersenyum kecut mendengar kalimat yang terakhir. Benar-benar sindiran yang tepat sasaran. Ternyata tak seaneh yang kukira seperti apa yang diceritakan Fatma.
 Tak sadar sudah lima belas menit berlalu. Hanya sedikit kotoran yang terkumpulkan. Untung tak ada pak Kliwon, sehingga tak perlu merasa terawasi.
“Afwan mas Juki, sudah jam setengah delapan lebih, Dinda masuk kelas dulu”
“Iya mba Dinda, maaf men..me..mengganggu mba Dinda,Assalamu’alaikum”  Lelaki itu ngeloyor bersama jengki birunya, kuperhatikan ia hingga lenyap bersama hiruk pikuk jalanan kota
“Wa’alaikum salam warahmatullah..”
*****
Juki lagi Juki lagi, sejak mengenal orang satu ini tiba-tiba sering sekali menemukan sosok nya. Dari sejak kejadian di halaman belakang sekolah, hingga papasan di jalan beberapa kali. Bahkan terkadang ia tak segan-segan memainkan bel sepedanya ketika lewat didepan rumah dan menemui keberadaanku. Padahal rasanya aku tak pernah bertemu sosoknya sebelum mengenalnya. Ah, mungkin saja karena aku belum pernah kenal dan paham saat itu.
 Tak ketinggalan sepeda jengki birunya. Dimana ada Juki disitu pasti ada jengki. Seakan keduanya adalah pasangan serasi yang tak ada yang bisa memisahkan kecuali maut. Juki dan jengki, serasi sekali bukan?  Kabarnya sepeda jengki yang selalu membersamainya adalah peninggalan terakhir dari bapaknya. Sempat ibunya parnah memaksa Juki agar menjualnya untuk memenuhi kebutuhan, Juki malah meronta-ronta dan kabur beberapa hari dari rumah. Soal sekolahnya, ia tak mampu melanjutkan ke SMA. Bapaknya meninggal di semester awal kelas tiga SMP. Pendidikannya nyaris kandas di bulan-bulan terakhir SMP nya karena tak mampu membayar SPP dan Ujian Nasional.  Sedangkan ibunya hanya tukang cuci panggilan jika ada tetangga yang membutuhkan. Saat itulah Juki benar-benar di titik nadir. Ia melakukan apa saja pekerjaan yang halal demi mendapatkan uang untuk menyelesaikan sekolahnya. Dari loper koran hingga jualan Es. Berangkat sekolah Juki sekaligus membawa koran-koran yang akan diedarkan kepada para pelanggan. Usai sekolah, setelah membereskan rumah dan mengurus adiknya, ia berkeliling dengan sepedanya membawa es lilin dalam sekotak steroform di boncengan jengkinya yang dipasok dari salah satu pabrik es.
Kurang lebih seperti itu yang Fatma critakan padaku. Ia bahkan baru memberitahuku kalau ternyata mereka masih memiliki hubungan saudara yang cukup dekat. Ibu Juki merupakan kakak dari istri paman Fatma.
Kabar baiknya aku melihat Juki lagi, di sekolah. bukan untuk menyapaku dengan bel sepedanya atau bahkan menyindir kebiasaan telatku. Dia menjadi siswa di sekolah ini. Ah, lebih tepatnya di gedung sekolah ini. Dia tak mendaftar sebagai adik kelasku di Sekolah Bertaraf Internsioal SMA Negeri 1, melainkan menjadi siswa kejar paket C yang menggunakan gedung Smansa untuk KBM disore hari. Lagi – lagi dia yang menyapaku lebih dulu ketika aku hendak pulang usai jam pelajaran tambahan menjalang UN.
“ Mb  Dinda..” suaranya tak terlalu gagap untuk menyebut kata yang biasa diucapkan.
“Eh, mas Juki...” aku tak perlu menanyakan keberadaannya. Penampilannya yang membawa tas slempang kecil dipundaknya dijam jam segini di dalam gedung sekolah secara tak langsung memberitahuku tentang statusnya. Beberapa orang berpenampilan sejenis berlalu lalang memasuki kelas. Tak perlu menggunakan seragam untuk mengikuti KBM sebagai siswa kejar paket. Siswanya bahkan dari bermcam-macam umur, beberapa bapak-bapak dan ibu-ibu yang sudah tampak berumur tampak berada di dalam komunitas tersebut. Menjadikan ini sebagai kesempatan emas bagi orang-orang yang tidak mampu atau belum sempat mengenyam pendidikan lebih.
“Mba Dinda, saya masuk k..ke..kelas dulu ya, bu g..gu..gurunya sudah datang.”
Aku hanya tersenyum dan menggangguk mengiyakan.
*****
Sleman, Mei 2011
Awan mendung hampir menyelimuti sebagian besar wilayah DIY.  Teori tentang cuaca yang yang dijelaskan bu Nunung dalam pelajaran geografi kelas 5 SD dulu tampaknya sudah tak berlaku lagi. Musim kemarau di Indonesia bukan lagi dari bulan April hingga September, atau musim hujan di bulan Oktober hingga Maret. Nyatanya, dipertengahan bulan Mei seperti ini, hujan masih kerap kali mengguyur Yogya dan sekitarnya. Bukan saja DIY, malainkan sebagian besar wilayah di Indonesia. Terlalu nisbi untuk diramalkan. Pada dasarnya ilmu alam memang bukan ilmu mutlak seperti matetamik. Alam akan terus berkembang dan berkembang.
Kulirik jam ditangannku. Jarum pendek berada ditengah angka lima dan enam. Yang panjang duduk di angka enam. Masih sekitar tigapuluh menit lagi adzan disisni berkumandang. Tampaknya gerimis akan segera turun, atau bahkan hujan yang cukup lebat beserta tiupan – tiupan angin kencang yang menggugurkan ranting-ranting pohon.
Aku segera cabut dari kampus begitu Rapat Kerja BEM selesai. Berjalan menuju parkiran mengambil sepada motor plat R yang menemaniku berkelana sejak di Yogya ini.
Ya, hampir dua tahun berlalu keberadaanku disini. Akhirnya Allah mengizinkanku menginjakan kaki di tanah pelajar ini. Untuk sekarang, cita-citaku tercapai, menjadi mahasiswa Pendidikan Dokter di kampus ternama di Yogya. Tepatnya di Sleman, berhadapan langsung dengan RSUD Sardjito. Sebuah jembatan layang menghubungkan kampusku dengan rumah sakit yang sekaligus menjadi tempat praktek di sebrang kampus.
Aku lupa, ini bulan terkahir pembayaran biaya kost. Tak ada uang cash di dompet, kusempatkan mampir ke ATM di sekitar jalan Simanjuntak. Keluar dari ATM, hujan semakin deras, terpaksa kupakai mantol untuk melindungi. Meski sebenarnya amat menyesakkan dan merepotkan. Masa SMA dulu, aku lebih suka menerabasnya hingga rumah ketika hujan seperti ini, ngebut dijalanan yang licin dengan pakaian yang basah kuyup. Untuk sekarang, ah.. rasanya harus berhemat-hemat baju juga jadi anak kost, terkadang hanya ada waktu sepekan sekali untuk mencucu baju.
Kutancapkan gas sepeda motorku ke utara, menuju kamar kecil persinggahanku disekitar Kaliurang KM 6. Lampu hijau diperampatan Magister Manegemant UGM tak sempat kuterabas. Sudah keburu berganti merah. Terpaksa ku rem mendadak motor yang sudah nyaris melebihi zebra cross. Kuperhatikan setiap detik angka yang berlalu diatas lampu merah, masih 98 detik lagi, menunggu giliran lampu hijau dijalurku.
Tepat ketika papan waktu menunjukan angka 77, seorang lelaki menggunakan sepeda jengki berwarna biru melintas di tengah perempatan dari arah Timur. Saat itu pula sebuah motor yang dikendarai bapak-bapak melaju kencang dari arah utara hendak berbelok ke Barat. Kesalahan bagi si pengendara sepeda melanggar lalu lintas. Tak bisa di hindari, sebuah accident kecil terjadi. Bapak berperawakan kurus yang mengendarai motor itu akhirnya menabrak lelaki dengan sepeda jengkinya tak jauh di depanku. Kaget bukan main ketika samar-samar kulihat ada stiker  bertuliskan “Islam Yes Kafir No” yang tertempel di salah satu bagian sepada yang ikut jatuh bersama si pengendara. Seketika pekiranku melayang entah kemana, seakan aku tak asing dengan setiker yang kubaca beserta sepeda jengki biru yang jatuh tak jauh di hadapanku. Kualihkan pandanganku pada wajah si pengendara sepeda yang dari awal luput dari perhatianku.
“ Allahu Akbar... aku mengenal wajah lelaki itu, beserta sepeda jengkinya yang jatuh tak berdaya.” Teriakku dalam hati, segera ku belokkan motorku ke kiri dan berhenti menepi. Begitu pula dengan lelaki yang terjatuh dengan sepedanya. Ia sudah bangkit membetulkan posisinya dengan mantol plastik dibadannya yang berantakan. Kulambaikan tangan dan berteriak memanggilnya.
“Mas Juki...” aku berteriak keras, mencoba mengalahkan suara hujan yang turun deras.
Yang dipanggil tak kalah kaget melihatku, matanya setengah melotot berjalan pincang sembari menuntun sepeda menepi ke arahku. Tangan kanannya mengusap air hujan di wajahnya. Benar-benar pertemuan yang luar biasa. Sama-sama bukan main kagetnya.
“Mas Juki bagaimana critanya bisa ada disini?” setengah berteriak aku memulai percakapan dengannya. Menyaingi suara hujan yang belum kunjung reda
“Jalan-jalan mba Dinda.. c.. ca..caari angin dan pelajaran.”
Aku mengernyitkan dahi, mlongo mendengar jawabannya. Jawaban yang sama persis ia sampaikan ketika pertama kali pertemuanku dengannya di halaman belakang sekolah.
“kata orang-orang, J..jo..jogja itu terkenal sebagai kota pelajar mb Din..? makannya saya tertarik untuk jalan-jalan kesini, p..pa..pasti bakal banyak pelajaran yang bisa kuambil.” polos sekali Juki menjelaskan motif keberadaannya disini
“Terus Mas Juki kayuh sepeda Jengki ini dari Purwokerto ke Jogja?” aku semakin heran dengan kelakuaannya. Yang ditanya hanya mengembangkan bibirnya diantara air hujan yang masih menetas-netes diwajahnya.
Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.(QS. Al-jumuah:10)
                                                                                              JR, 26 Maret 2012_

1 komentar: