Yeah,,, puncak
Slamet akhirnya tercoret. Puncak tertinggi ke dua di tanah Jawa, 3432 mdpl.
Membayarkan segala pengorbanan dan langkah-langkah kami yang terseok. setelah
berjam-jam lamanya merajut setapak demi setapak langkah menujunya. Mimpi yang
sudah melekat sejak bertahun-tahun lamanya akhirnya terwujud. Aku yakin, pada
saatnya nanti aku akan mampu berdiri di puncak sang Arga yang selalu hadir
menyapa pagiku di kampung. Entah bagaimana caranya.
Akhir tahun
2012 lalu, kesempatan itu datang. Seseorang mengajakku ikut mendaki akhir
tahun. Sungguh, ini pertama kalinya. Membayangkan bagaimana serunya menikmati
tahun baru dipuncak gunung. Menyaksikan jutaan kembang api dan kerlap-kerlip
tanah jawa di malam tahun baru.
Hari terakhir
di tahun 2012, Dengan berbagai persiapan yang
terbatas, jam sepuluh pagi itu, perjalanan dimulai, dengan 4 awak perempuan dan 7 awak laki-laki. Team
pendaki menuju posko pendakian Bumijawa mengunakan mobil colt merah. Ini mirip
salah satu cuplikan adegan dalam film Soe Hok Gie ketika hendak muncak ke Mahameru dalam
perjalanannya menggunakan colt berwarna merah pula. Seketika, aku mainkan
playlist soundtrack Gie dari MP3 playerku dan mengalun ditelingaku. Ini akan
menjadi petualangan yang luar biasa!
Hap..hap..
setapak demi setapak akhirnya kami memulai langkah ini. capek, lelah, dingin,
lapar, haus, itu pasti. Rehat sebentar sekedar untuk minum, ambil nafas.
Mengumpulkan kerikil-kerikil energi untuk langkah-langkah selanjutnya. Baru beberapa menit perjalanan, hujan mulai
menguyur kami. dari sekedar grimis hingga yang membawa dingin yang
menusuk-nusuk. Syok rasanya mendengar harus berjalan paling cepat 8 jam untuk
mencapai puncak. Apalagi dengan kondisi yang seperti ini. Menjelang petang,
kita masih diperjalanan menuju pos 4. Jarak diantara rombongan terpisah semakin
jauh. Masing-masing sudah terkuras energinya, ditambah dengan hujan yang masih
betah mengguyur.
Seiring petang,
cuaca kian buruk, suhu semakin rendah. Salah satu pendaki perempuan tak kuat
lagi mengkondisikan tubuhnya. Ia terpaksa tepar ditengah track yang masih
diguyur hujan deras. Segera kami mendirikan tenda dan memutuskan nge-camp
disini. Mengeringkan dan menghangatkan diri sekaligus mengisi perut dengan yang
panas-panas lagi mengenyangkan. Hujan sudah berhenti, tapi dinginnya justru
semakin parah. Anehnya lagi, tenda kami kebanjiran. Pantas saja, ternyata
tempat rehat kami persis di daerah aliran air. Sudah malam dan sepi, kami sudah
tak berdaya. Kami benar-benar terjangkiti hipotermia akut. Badan menggigil,
gigi bergemelutuk, bahkan untuk sekedar memejamkan matapun tak kuat. Bagi kami
hanya berharap malam segera barakhir, dingin segera pergi, serta bagaimana
caranya kita bisa tidur dalam kondisi tak jelas begini. Bahkan sesekali
melintas bayangan konyol, apa jadinya jika kita mati kedinginan disini? Malam
itu, pikiranku yang awalnya berimajinasi bisa melihat kembang api dari pucak
ternyata salah total. Itu bahkan hanya bayangan konyol. Saat itu bahkan kita
masih diantara hutan-hutan rimbun. Jangankan melihat kembang api. Datararan rendah
saja tidak nampak. Hanya kelihatan kelip-kelip lampu yang amat temaram nan jauh
sekali disana.
Akhirnya sampe juga jarum jam menunjukkan
angka 3. Dengan penantian penuh perjuangan tanpa mampu memejamkan mata. Galau, antara
ingin melanjutkan ke puncak atau memilih untuk turun. Dengan bebagai
pertimbangan yang amat berat, akhirnya kami memutuskan untuk berbagi. Sebagian terpaksa
turun ke posko, sebagian yang lain melanjutkan hingga ke puncak. Aku termasuk
dalam rombongan yang melanjutkan ke puncak, bersama 4 laki-laki dan 1 perempuan
lain.
Menjelang pukul
enam kita telah sampai di pos 5. Keluar dari hutan rimbun, medan selanjutnya
adalah bebatuan kerikil dan pasir. Ternyata medan ini jauh lebih berat
dibanding sebelumnya. Akan sangat
berbahaya jika tak berhati-hati.
Batuan-batuan ringkih, pasir berhambur, membuat kita dengan mudah terpleset jika salah menapakkan
kaki. Ini luar bisa sekali, 6 awak yang mewakili rombongan hingga puncak tidak
jauh bereda dengan perjuangan Arial dan 5 awak lainnya dalam perjalanan menuju
puncak Mahameru dalam novel best seller-nya bang Donny Dirgantoro dan
filmnya yang saat itu lagi booming-booming-nya. Maksa banget ya...
Amazing..
sisa-sisa perjalanan terakhir menuju
puncak, kami sudah bisa melihat pemandangan sebagian tanah jawa. Garis pantai
membentang, puncak-puncak menjulang serta hamparan awan putih mengembang. Ini
dia, negeri di atas awan. Seperti negeri-negeri kayangan dalam dongeng. Atau
seperti lirik lagu Negeri di Awan milik Katon Bagaskara, “Kau mainkan untukku sebuah lagu tentang negeri di awan,
dimana kedamaian menjadi istananya.” Ya, damai sekali rasanyanya.
Menginjakkan kaki diantara awan-awan putih nan lembut mengembang. Tak terasa,
ujung-ujung mataku telah basah. Tak kuat rasanya menahan air mata ini,
merasakan damai bahagia dan rasa syukur untuk bisa disampaikan menapakkan kaki
di disini, disatu titik dimana tampak hamparan cipataan-Mu yang amat luas,
menyadari betapa kecilnya makhluk-Mu yang satu ini, di tanah tertinggi di Provinsi Jawa Tengah,
Mt. Slamet 3432 mdpl. Pengorbanan kami,
akhirnya lunas terbayarkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar