Rabu, 05 Juni 2013

Negeri di Awan

Yeah,,, puncak Slamet akhirnya tercoret. Puncak tertinggi ke dua di tanah Jawa, 3432 mdpl. Membayarkan segala pengorbanan dan langkah-langkah kami yang terseok. setelah berjam-jam lamanya merajut setapak demi setapak langkah menujunya. Mimpi yang sudah melekat sejak bertahun-tahun lamanya akhirnya terwujud. Aku yakin, pada saatnya nanti aku akan mampu berdiri di puncak sang Arga yang selalu hadir menyapa pagiku di kampung. Entah bagaimana caranya.
Akhir tahun 2012 lalu, kesempatan itu datang. Seseorang mengajakku ikut mendaki akhir tahun. Sungguh, ini pertama kalinya. Membayangkan bagaimana serunya menikmati tahun baru dipuncak gunung. Menyaksikan jutaan kembang api dan kerlap-kerlip tanah jawa di malam tahun baru.
Hari terakhir di tahun 2012, Dengan berbagai persiapan yang  terbatas, jam sepuluh pagi itu, perjalanan dimulai, dengan 4  awak perempuan dan 7 awak laki-laki. Team pendaki menuju posko pendakian Bumijawa mengunakan mobil colt merah. Ini mirip salah satu cuplikan adegan dalam film Soe Hok Gie  ketika hendak muncak ke Mahameru dalam perjalanannya menggunakan colt berwarna merah pula. Seketika, aku mainkan playlist soundtrack Gie dari MP3 playerku dan mengalun ditelingaku. Ini akan menjadi petualangan yang luar biasa!
Hap..hap.. setapak demi setapak akhirnya kami memulai langkah ini. capek, lelah, dingin, lapar, haus, itu pasti. Rehat sebentar sekedar untuk minum, ambil nafas. Mengumpulkan kerikil-kerikil energi untuk langkah-langkah selanjutnya.  Baru beberapa menit perjalanan, hujan mulai menguyur kami. dari sekedar grimis hingga yang membawa dingin yang menusuk-nusuk. Syok rasanya mendengar harus berjalan paling cepat 8 jam untuk mencapai puncak. Apalagi dengan kondisi yang seperti ini. Menjelang petang, kita masih diperjalanan menuju pos 4. Jarak diantara rombongan terpisah semakin jauh. Masing-masing sudah terkuras energinya, ditambah dengan hujan yang masih betah mengguyur.
Seiring petang, cuaca kian buruk, suhu semakin rendah. Salah satu pendaki perempuan tak kuat lagi mengkondisikan tubuhnya. Ia terpaksa tepar ditengah track yang masih diguyur hujan deras. Segera kami mendirikan tenda dan memutuskan nge-camp disini. Mengeringkan dan menghangatkan diri sekaligus mengisi perut dengan yang panas-panas lagi mengenyangkan. Hujan sudah berhenti, tapi dinginnya justru semakin parah. Anehnya lagi, tenda kami kebanjiran. Pantas saja, ternyata tempat rehat kami persis di daerah aliran air. Sudah malam dan sepi, kami sudah tak berdaya. Kami benar-benar terjangkiti hipotermia akut. Badan menggigil, gigi bergemelutuk, bahkan untuk sekedar memejamkan matapun tak kuat. Bagi kami hanya berharap malam segera barakhir, dingin segera pergi, serta bagaimana caranya kita bisa tidur dalam kondisi tak jelas begini. Bahkan sesekali melintas bayangan konyol, apa jadinya jika kita mati kedinginan disini? Malam itu, pikiranku yang awalnya berimajinasi bisa melihat kembang api dari pucak ternyata salah total. Itu bahkan hanya bayangan konyol. Saat itu bahkan kita masih diantara hutan-hutan rimbun. Jangankan melihat kembang api. Datararan rendah saja tidak nampak. Hanya kelihatan kelip-kelip lampu yang amat temaram nan jauh sekali disana.
 Akhirnya sampe juga jarum jam menunjukkan angka 3. Dengan penantian penuh perjuangan tanpa mampu memejamkan mata. Galau, antara ingin melanjutkan ke puncak atau memilih untuk turun. Dengan bebagai pertimbangan yang amat berat, akhirnya kami memutuskan untuk berbagi. Sebagian terpaksa turun ke posko, sebagian yang lain melanjutkan hingga ke puncak. Aku termasuk dalam rombongan yang melanjutkan ke puncak, bersama 4 laki-laki dan 1 perempuan lain.
Menjelang pukul enam kita telah sampai di pos 5. Keluar dari hutan rimbun, medan selanjutnya adalah bebatuan kerikil dan pasir. Ternyata medan ini jauh lebih berat dibanding sebelumnya.  Akan sangat berbahaya jika tak berhati-hati.  Batuan-batuan ringkih, pasir berhambur, membuat kita  dengan mudah terpleset jika salah menapakkan kaki. Ini luar bisa sekali, 6 awak yang mewakili rombongan hingga puncak tidak jauh bereda dengan perjuangan Arial dan 5 awak lainnya dalam perjalanan menuju puncak Mahameru dalam novel best seller-nya bang Donny Dirgantoro dan filmnya yang saat itu lagi booming-booming-nya. Maksa banget ya...
Amazing.. sisa-sisa perjalanan terakhir  menuju puncak, kami sudah bisa melihat pemandangan sebagian tanah jawa. Garis pantai membentang, puncak-puncak menjulang serta hamparan awan putih mengembang. Ini dia, negeri di atas awan. Seperti negeri-negeri kayangan dalam dongeng. Atau seperti lirik lagu Negeri di Awan milik Katon Bagaskara, “Kau mainkan untukku sebuah lagu tentang negeri di awan, dimana kedamaian menjadi istananya.” Ya, damai sekali rasanyanya. Menginjakkan kaki diantara awan-awan putih nan lembut mengembang. Tak terasa, ujung-ujung mataku telah basah. Tak kuat rasanya menahan air mata ini, merasakan damai bahagia dan rasa syukur untuk bisa disampaikan menapakkan kaki di disini, disatu titik dimana tampak hamparan cipataan-Mu yang amat luas, menyadari betapa kecilnya makhluk-Mu yang satu ini,  di tanah tertinggi di Provinsi Jawa Tengah, Mt. Slamet 3432 mdpl.  Pengorbanan kami, akhirnya lunas terbayarkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar